Assalamua'alaikum WarahmatullahiWabarakatuh.

Oktober 08, 2010

DIMENSI-DIMENSI AJARAN ISLAM


HARIYONO USMAN

A.    PENDAHULUAN
Agama adalah sebuah realitas yang senantiasa melingkupi manusia. Agama muncul dalam kehidupan manusia dalam berbagai dimensi, termasuk agama Islam. Namun, yang menjadi tolak ukur dalam membedakan suatu agama adalah isi atau dimensi ajaran agamanya. Dalam Islam, ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah, dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk mengembangkannya. Yang dikembangkan adalah ajaran agama yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Dengan kata lain, yang dikembangkan lebih lanjut supaya dapat dipahami oleh manusia.

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar sampai urusan negara. Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya.

Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, ‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Hal ini dapat menunjukkan betapa sempurnanya agama Islam dan luasnya petunjuk yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah seseorang itu butuh kepada petunjuk selainnya, baik itu teori demokrasi, filsafat atau lainnya; ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa pun juga.

Oleh karena itu, sebagai muslim dan muslimat kita patut bersyukur memeluk agama Islam. Tetapi kesyukuran itu harus diikuti dengan mempelajari agama Islam itu sendiri, yakni ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya secara baik dan benar serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari. Mempelajari ajaran Islam tersebut merupakan fardhu kifayah yakni kewajiban kemasyarakatan kaum muslimin. Di samping itu, ajaran Islam bersifat totalitas dan saling melengkapi. Dalam perkataan lain, bahwa kita mengamalkan ajaran Islam termasuk dimensi-dimensinya. Sehingga pada makalah ini akan membahas tentang dimensi-dimensi yang ada dalam ajaran agama Islam dan mengenai akidah, syariah, dan akhlak yang juga merupakan unsur pokok dalam ajaran Islam.

Dalam makalah yang berjudul “Dimensi-Dimensi Ajaran Islam” ini akan membahas 5 poin penting mengenai dimensi-dimensi ajaran Islam, yaitu:
1.    Dimensi Ritual
2.    Dimensi Mistikal
3.    Dimensi Ideologi
4.    Dimensi Sosial
5.    Akidah, Syariah, dan Akhlak


B.    PEMBAHASAN

1.    Dimensi Ritual

Dimensi ritual adalah aspek spiritualitas yang berisi peribadatan yang diatur oleh syariat agama Islam. Dengan perkataan lain, dimensi ini merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku yang disebut ritual keagamaan. Perilaku yang dimaksud bukan perilaku dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama. Dimensi ini bersifat vertikal, yaitu peningkatan kualitas hubungan antara mahluk dengan penciptanya, yakni Allah SWT. Jika seorang makhluk memiliki kualitas hubungan yang baik terhadap Tuhannya, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan ruhani. Begitupun jika seorang mahluk sangat jauh dari Tuhannya, dalam arti sering mengabaikan ibadah ritual agamanya, biasanya jiwanya kosong, mudah sekali putus asa, bahkan tidak jarang banyak yang menyiksa dirinya ketika sedang ditimpa musibah yang berkepanjangan

Dimensi ini sejajar dengan ibadah. Ibadah merupakan penghambaan manusia kepada Allah sebagai pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk Allah. Ibadah yang berkaitan dengan ritual adalah ibadah khusus atau ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang bersifat khusus dan langsung kepada Allah dengan tatacara, syarat serta rukun yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an serta penjelasan dalam hadits nabi.  Ibadah yang termasuk dalam jenis ini adalah shalat, zakat, puasa dan haji.

2.    Dimensi Mistikal
Dimensi mistikal berkaitan dengan perasaan keagamaan seseorang. Psikologi agama menyebutnya sebagai pengalaman keagamaan (religious experience) yaitu unsur perasaan dalam kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan (Zakiah Darajat, 1996). Pengalaman keagamaan dalam Islam bisa terjadi dari yang paling sederhana seperti merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan Ramadhan.

Pengalaman yang lebih kompleks adalah seperti pengalaman ma’rifah (gnosis) yang dialami oleh para sufi yang sudah dalam taraf merasakan bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh berarti, sehingga jangankan dibanding dengan dunia seisinya, dibanding surga seisinya pun, Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih memilih shalat, karena dengan shalat ia akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi dengan Tuhan. Bagi sufi setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai perintah agama bukan lagi karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih didasarkan pada cinta (mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena didasarkan dorongan cinta, maka apapun yang dilakukan terasa nikmat.

Dimensi mistikal Islam termanifestasikan dalam pengalaman keagamaan yang meliputi 3 aspek, yaitu dorongan Pencarian Makna Hidup, Kesadaran Akan kehadiran Yang Mahakuasa, Tawakal dan Takwa Kepada Allah SWT.

a.    Pencarian Makna Hidup
Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidup bukan “rasionalisasi skunder” yang muncul karena dorongan naluriah. Dalam pencarian makna hidup, ada empat pertanyaan yang harus di jawab agar kita mampu mengetahi makna keberadaan kita hidup di bumi ini. Pertanyaan pertama adalah Siapakah kita? Kita adalah manusia. Manusia yang diberikan kesempurnaan oleh Allah swt dan diberi kelebihan berupa akal dan nafsu. Manusia memiliki potensi untuk menjadi lebih mulia derajatnya dibandingkan malaikat, namun bisa juga derajatnya lebih hina dibandingkan hewan.
Pertanyaan kedua adalah Dari mana kita diciptakan? Dalam Qur’an surah Al Mu’minun ayat 12-14 dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari air yang dipancarkan (air mani) dan kemudian dari air mani tersebut menjadi segumpal darah, dan seterusnya hingga dalam proses penciptaan tersebut jadilah kita sebagai seorang manusia, yang diberi potensi akal untuk kita berpikir agar mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dari proses penciptaan tersebut, kita mampu menyadari bahwa manusia diciptakan dari proses penciptaan yang sangat luar biasa dahsyatnya, dan ada Allah Sang Maha Pencipta yang telah memilih kita dan menciptakan kita dengan sebaik-baik penciptaan.

Pertanyaan ketiga adalah Untuk apa kita diciptakan? Dalam Qur’an surah Adz Dzaariyat ayat 56, Allah SWT. pun  menjelaskannya. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” bahwa sesungguhnya kita diciptakan di muka bumi ini adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT. yakni Beribadah menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, kerena ibadah tidak hanya ritual shalat, puasa saja, namun banyak aspek kehidupan kita yang merupakan ibadah jika niatan kita adalah untuk menggapai ridha Allah SWT.

Dan pertanyaan keempat adalah Mau kemana kita setelah meninggal nanti? Sebagaimana dari awal kita diciptakan oleh Allah SWT., maka sesungguhnya tempat kita setelah kita meninggal adalah kembali pada Dzat yang menciptakan kita, yakni Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Qiyamah: 12 bahwa “Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali.”. kemudian kita akan mempertanggungjawabkan apa yang telah kita perbuat selama berkelana di alam dunia. Jika selama di dunia amal kebaikan kita lebih banyak dari pada amal keburukan kita, maka surgalah yang menjadi rumah baru kita di akhirat kelak dan sebaliknya Jika selama di dunia amal kebaikan kita lebih sedikit dari pada amal keburukan kita maka yang menjadi rumah baru kita, yakni neraka. Sebagaimana dalam QS. Al-A’raf: 8-9 bahwa “Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.”

b.    Kesadaran Akan Kehadiran Allah SWT
Dalam ajaran Islam, kesadaran akan kehadiran Tuhan (kesadaran Tauhid) sangat penting dibutuhkan. Kesadaran ini hadir, ketika kita kesadaran spiritual telah kita miliki. Seperti yang telah dibahas di atas mengenai dimensi spiritual bahwa ketika seorang makhluk memiliki kualitas hubungan yang baik terhadap Tuhannya, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan ruhani.
Kesadaran Spiritual telah menghantarkan seseorang kepada sang Pencipta yang Maha Agung dan Mulia. Maka, setelah itu manusia bakal berproses lebih jauh berinteraksi dengan Dzat Ketuhanan itu. Disinilah mulai muncul Kesadaran Tauhid.

Di setiap yang kita lihat. Di segala yang kita dengar. Di persoalan-persoalan yang sedang kita pikirkan. Dan di segala sesuatu yang kita lakukan. Bahkan Allah juga hadir di sekujur tubuh kita. Mulai dari denyut jantung, tarikan nafas, geliat otot-otot, percikan sinyal-sinyal listrik di sel-sel saraf dan otak, serta seluruh aktivitas kehidupan kita. Allah hadir di seluruh penjuru kehidupan kita.
Seseorang yang telah mencapai Kesadaran Tauhid tiba-tiba menjadi begitu jernih melihat kehadiran Allah dalam hidupnya. Ketika sedang sendirian, tiba-tiba ia merasakan betapa Allah, telah hadir di tarikan dan hembusan nafasnya.

Ia seakan-akan bisa ‘melihat’ betapa oksigen yang dihirupnya meresap ke dalam paru-parunya, ditangkapi oleh gelembung-gelembung alvioli, kemudian diedarkan ke miliaran sel-sel tubuhnya oleh mekanisme peredaran darah yang mangagumkan.

Ia melihat betapa Allah hadir dan aktif mengendalikan seluruh mekanisme distribusi oksigen itu. la bisa merasakan, betapa ngerinya jika Allah tidak hadir dalam proses pengangkutan oksigen itu.
Dengan demikian, Kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup kita akan membuat kita hidup sesuai dengan pengenalan kita. Hanya orang yang menyangkali kehadiran Tuhan-lah yang melakukan perkara-perkara yang tidak berkenan kepada Tuhan padahal Tuhan hadir di situ. Atau orang yang tidak menyadari kehadiran Tuhan-lah yang terus menerus melakukan hal-hal yang jahat.

c.    Takwa dan Tawakkal
Orang yang bertakwa adalah orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran: mengerjakan suruhan-Nya, tidak melanggar larangan-Nya, takut terjerumus dalam perbuatan dosa. Orang yang takwa adalah orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan; memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridhai Allah; bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laku, dan perbuatannya, dan memenuhi kewajiban. Menurut H. Agus Salim, takwa adalah sikap mental seseorang yang selalu ingat dan waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, pantang berbuat salah dan melakukan kejahatan terhadap orang, diri sendiri dan lingkungannya (Gazalba, 1976:46) . Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang beriman agar bertaqwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya taqwa. Suatu ketika Umar bin Khattab Ra pernah ditanya oleh seorang sahabat : “Wahai Umar, apa artinya taqwa?”, Umar menjawab : “Taqwa adalah sekiranya kamu berjalan pada suatu jalan yang licin (becek), kamu pasti berhati-hati agar tidak tergelincir.”
Sedangkan Tawakkal artinya berserah diri, yakni salah satu sifat mulia yang harus ada pada diri seorang mukmin. Bila ia telah benar-benar mengenal Tuhannya melalui makrifat yang telah dicapainya, tidak mungkin sifat tawakkal tersisih darinya. Bahkan, sifat itu akan lekat menjadi sifat dan perbuatannya, dan akan tetap bertawakkal terhadap apapun takdir Allah SWT.
Tawakkal adalah Berserah diri kepada Allah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit dalam rangka jalan menuju keselamatan. Manusia merupakan makhluk lemah dan terbatas, sehingga memerlukan bantuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Luas.

Tawakkal berada di antara pintu-pintu iman, sedangkan iman tidak akan terurus dengan baik, kecuali dengan adanya ilmu, hal (keadaan) dan amal. Intinya, tawakkal akan terasah dengan ilmu, dan ia menjadi pokok tawakkal, sementara amal adalah buah tawakkal. Dan hal (keadaan) ini adalah maksud dari nama tawakkal itu sendiri. Tegasnya, orang yang dadanya tidak terisi dengan ilmu tentang Tauhid, maka ia harus memahami bahwa segala sesuatu berlaku atas kehendak Allah SWT .

3.    Dimensi Ideologi
Dimensi ideologi merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed). Doktrin mengenai kepercayaan atau keyakinan adalah yang paling dasar yang bisa membedakan agama satu dengan lainnya. Dengan perkataan lain, dimensi ideologi ini mengacu pada serangkaian kepercayaan yang menjelaskan eksistensi manusia terhadap Tuhan, dan sesama makhluk Tuhan yang lain (sesama manusia dan alam semesta)
Dalam Islam, eksistensi manusia terhadap Tuhannya (hablum minallah) merupakan hubungan yang membentuk garis vertikal, bahkan paling dan lebih dekat dari urat nadi leher manusia itu sendiri. Dan dalam hubungan ini tidak ada satu angan-angan, gerak hati atau perbuatan di luar pengawasan Allah SWT.  Garis vertikal ini menempatkan diri manusia pada posisi hamba Allah (Abdillah), yang mempunyai kewajiban untuk mengabdi dan melayani kehendak Allah. Posisi ini dirumuskan di dalam QS. Azzariyat: 56 bahwa “Dan tidak kami jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada Ku.” Pengabdian ini meliputi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia setiap saat dan di manapun juga.
Eksistensi manusia dan sesamanya (hablum minannas), yakni hubungan baik secara biologis, psikologis maupun sosiologis saling membutuhkan satu dengan yang lainnya; dan karenanya manusia juga disebut makhluk sosial.

Hubungan manusia dengan sesamanya, dijadikan Islam sebagai syarat hidup yang kedua yang mesti dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, baik dalam bentuk muamalah dalam arti luas maupun akhlak. Dengan hubungan ini, manusia tiak dibenarkan untuk mengasingkan diri lepas dari manusia lainnya atau membebaskan diri dari tanggung jawab terhadap persoalan-persoalan hidup masyarakat.

Selain itu, eksistensi manusia dengan makhluk tuhan lainnya, yakni alam semesta. Dalam eksistensi ini, manusia mempunyai posisi sebagai khalifah di bumi, yang mempunyai hak untuk menggali, mengolah, dan memanfaatkan serta memimpin. Posisi yang demikian itu difirmankan dengan jelas dalam Al Qur’an surah Al An’am: 165 yang artinya “Dan Dia telah menjadikan kamu khalifah di atas bumi”
Dengan posisi ini mengandung arti bahwa derajat manusia sebagai pemimpin alam hewani, dan benda-benda lainnya, jangan direndahkan sehingga manusia derajatnya sama dengan makhluk-makhluk tersebut.
Selanjutnya fungsi khalifah di bumi ini mempunyai kewajiban-kewajiban dalam menjalankan jabatan tersebut. Kewajiban-kewajiban itu ialah menerapkan nilai-nilai Ilahi dalam mengurus bumi ini. Dengan perkataan lain, mengurus bumi ini menurut pola dan peta yang sudah disediakan Allah buat manusia.
Karenanya manusia dalam melaksanakan jabatan sebagai khalifah di bumi, mesti mengerti dan menghayati syarat-syarat jabatan tersebut. Menrut Maududi syarat-syarat itu ialah:
1.    Pemilik yang sebenarnya dari bumi ini tetap tinggal pada Tuhan dan bukan pada manusia.
2.    Manusia dalam mengurus bumi ini harus sesuai dengan instruksi Tuhan (sebagai pemilik).
3.    Manusia akan melaksanakan kekuasaannya itu dalam batas-batas yang telah Tuhan tentukan baginya.
4.    Dalam menjalankan administrasi dari amanat Tuhan itu, manusia akan memenuhi keinginan-keinginan Tuhan dan bukan kehendak/keinginan sendiri saja.

Keempat syarat-syarat tersebut di atas harus dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebab tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut berarti manusia telah menyalahi posisinya sebagai wakil Tuhan di bumi. Dan karenanya tidak logis apabila fungsi itu akan tetap dipegangnya kalau tidak memenuhi apa-apa yang harus untuk dipenuhi .

4.    Dimensi Sosial
Dimensi sosial yakni berkaitan dengan ajaran Islam yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat, yaitu mendorong terciptanya keadilan dan solidaritas antara sesama manusia. Islam juga disebut sebagai agama kemasyarakatan. Hal ini selaras dengan watak dasar manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup sendiri (makhluk madani).
Islam sangat memperhatikan kebutuhan masyarakat dan individu, di dalam ajarannya juga menyeimbangkan faktor sosial dan faktor individu. Ajaran Islam tidak hanya memperhatikan masalah individu dan meremehkan masalah sosial, demikian juga tidak lebih memperhatikan masalah sosial dan meremehkan masalah individu, melainkan memberikan perhatian yang sama besar kepada dua masalah ini, baik menyangkut hak maupun kewajiban tanpa ada yang merasa dipaksa ataupun dirugikan.
Islam mendorong agar umat Islam terbiasa dengan cara berpikir kolektif dan memiliki rasa sosial yang tinggi. Sampai seorang muslim ketika melaksanakan shalat, meskipun di dalam rumah sendirian, namun tetap mengucapkan: “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah:5)

Permohonan yang dilakukan bersama-sama ini menumbuhkan perasaan hidup bersama (berjamaah) dalam hatinya, kemudian berdoa kepada Allah: “Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah:6)
Ia memohon hidayah untuk dirinya sendiri dan untuk jamaah yang ada bersamanya. Inilah semangat kebersamaan yang terkandung dalam surah Al-Fatihah . Begitupun ketika shalat diakhiri dengan salam. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah seorang hamba melakukan hubungan (komunikasi) yang baik dengan Allah, maka diharapkan hubungan yang baik tersebut juga berdampak pada hubungan yang baik kepada sesama manusia. Dengan perkataan lain, jika seorang hamba dengan penuh kekhusyuan dan kesungguhan menghayati kehadiran Tuhan pada waktu shalat, maka diharapkan bahwa penghayatan akan kehadiran Tuhan itu akan mempunyai dampak positif pada tingkah laku dan pekertinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Semangat sosial juga terlihat ketika kita melakukan ibadah puasa terutama dalam bulan Ramadhan. secara sosial. Kata Hasan Hanafi dalam al-Din wa al-Tsawrah (1990: 63, VII), puasa melatih kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan. Dalam konteks itulah kita bisa memahami adanya perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan Ramadan. Terang sekali, secara fungsional dan simbolis perintah zakat fitrah merupakan refleksi bagi adanya sasaran sosial yang hendak diraih dalam berpuasa, yaitu sebuah komitmen moral dan keprihatinan sosial untuk menimbun jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Dengan demikian, Islam datang dengan membawa misi sosial dengan menaruh kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan kemasyarakatan .

5.    Akidah, Syariah, dan Akhlak
Andai Islam diibaratkan dalam sebuah pohon, maka akidah (iman) bagaikan akar yang menunjang kokoh dan tegaknya batang di atas permukaan bumi. Sedangkan syariah dimisalkan sebagai batang yang berdiri kokoh di atas akar yang menunjang, dan akhlak bagaikan buah yang dihasilkan dari proses yang berlangsung pada akar batang. Dengan perkataan lain, bahwa akidah mendasari syariah dan akhlak. Dapat dipahami pula bahwa syariah merupakan aturan yang berdasarkan akidah yang harus ditampilkan dengan akhlak atau akhlak merupakan perilaku yang tampak sebagai pelaksanaan syariat yang berdasarkan akidah .
Akidah atau iman bertitik sentral kepada tauhid, yakni mengesakan Allah. Tauhid kepada Allah yaitu pengakuan kenyataan bahwa hanya Allah sajalah yang berdaulat dan memerintah dan bahwa segala sesuatu yang dimiliki manusia, termasuk hidupnya sendiri, adalah kepunyaan-Nya dan harus digunakan sesuai dengan petunjuk-petunjuk-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surah Al-Maidah: 120 “kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Selanjutnya Iman mempunyai 6 unsur, yaitu: (1) Iman kepada Allah, (2) Iman kepada Malaikat-malaikat-Nya, (3) Iman kepada Kitab-kitab-Nya, (4) Iman kepada Rasul-rasul-Nya, (5) Iman kepada Hari Akhir, (6) Iman kepada Qadha dan Qadar .
Adapun syariah adalah sistem atau aturan yang disyariahkan oleh Allah SWT. untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama muslim, dengan sesama manusia, dengan alam semesta, dan dengan kehidupan . Selain itu, syariah Islam mengatur perbuatan manusia dalam kaitan hukum yang terdiri dari wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram.
Syariah sebagai aturan terdiri dari atas 2 masalah pokok, yaitu pertama, ibadah, yakni shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua muamalah yang berkaitan ketetapan Allah berhubungan dengan kehidupan sosial manusia terbatas pada yang pokok-pokok saja, seperti perdagangan, jinayah, munakahat, warathah, jihad, khilafah .
Akhlak adalah perangai atau tabiat, yaitu gambaran sifat-sifat batin/jiwa manusia. (Humaidi Tatapangsara, 1984: 13-16). Akhlak menempati posisi penting dan pentingnya dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah Rasulullah Saw. Dan Akhlak Rasulullah Saw yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu, disebut akhlak Islami karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam Al-Quran yang menjadi sumber utama ajaran agama dan ajaran Islam . Pada umumnya, akhlak terbagi menjadi 3, yakni akhlak manusia terhadap Allah SWT., akhlak manusia terhadap sesamanya, dan akhlak manusia terhadap alam semesta.

C.    KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
1.    Dimensi Ritual merupakan dimensi dalam ajaran Islam yang berisi tentang ritual atau ibadah-ibadah yang sifatnya vertikal, yaitu hubungan manusia dengan penciptanya, yakni Allah SWT. Ibadah dalam dimensi riual ini yang dimaksud adalah ibadah yang sifatnya langsung kepada Allah dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang sudah ditetapkan dan dijelaskan dalam kitab suci Al-Quran dan Al- Hadist. Ibadah-ibadah itu adalah shalat, puasa, zakat, dan haji.
2.    Dimensi Mistikal merupakan dimensi dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan perasaan (psikologi) seseorang akan kesadaran agama yang membawanya pada suatu keyakinan. Dimensi mistikal terdiri atas 3 aspek, yaitu (1) pencarian makna hidup, yakni upaya dalam memahami hidup dan kehidupan dengan merenungi 4 pertanyaan, yaitu siapakah kita, dari mana kita diciptakan, untuk apa kita diciptakan, dan mau kemana kita setelah meninggal; (2) kesadaran akan kehadiran Allah SWT., yakni keyakinan seseorang akan setiap gerak langkah dan di setiap desah nafasnya bahwa ada Allah di setiap langkah dan desah itu. Seseorang yang merasa Allah hadir di setiap penjuru kehidupannya; (3) takwa dan tawakkal, yakni takut dan berserah diri kepada Allah SWT. Dengan perintah takwa, kita akan berusaha untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang dan mengerjakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah. Dengan tawakkal kita akan selalu memohon kepada Allah dengan rendah diri membuktikan manusia sangat tergantung pada Allah SWT. atas hidup dan kehidupannya.
3.    Dimensi ideologi merupakan dimensi yang berisi tentang 2 hal, yakni (1) eksistensi manusia terhadap Allah SWT, yaitu eksistensi manusia sebagai hamba Allah yang harus beribadah serta melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah SWT.; (2) Eksistensi manusia terhadap sesama makhluk Allah yang lain (sesama manusia dan alam semesta), yaitu keberadaan manusia yang tak bisa lepas dengan manusia yang lain. Manusia yang satu pasti akan membutuhkan pertolongan manusia yang lainnya dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, dalam hubungannya dengan alam semesta, manusia mempunyai khalifah untuk menggali, mengolah, dan memanfaatkan serta memimpin.
4.    Dimensi Sosial merupakan dimensi yang menjelaskan tentang ajaran Islam hubungannya dengan masyarakat dalam rangka menciptakan keadilan dan solidaritas antara sesama manusia sesuai dengan ungkapan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Rasa sosial dalam ajaran Islam salah satunya terdapat dalam ibadah seperti shalat, zakat, dan puasa.
5.    Akidah syariah, dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Akidah berkaitan dengan iman, syariah berhubungan dengan ibadah dan muamalah, sedangkan akhlak berhubungan dengan akhlak kepada Tuhan dan akhlak kepada makhluk. Akidah adalah dasar keyakinan yang mendorong penerimaan syariah Islam secara utuh. Jika syariah telah dilaksanakan berdasarkan akidah, akan lahir bentuk-bentuk tingkah laku yang baik bernama akhlak.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Nuar Dwiyarno. (2008 ). Takwa dan Tawakkal kepada-Nya. (online), (http://spesialis-torch.com/content/view/109/29/, diakses 16 Agustus 2010)
Ali, Muhammad Daud. 2006. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada/
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1999. Reposisi Islam. Terjemahan oleh Muhammad Arif Rahman. 2001. Jakarta: Al Mawardi Prima.
Asuru, Arsidik Dkk. 1997. Pendidikan Agama Islam. Kendari: Universitas Haluoleo.
Djaelani, Abdul Qodir. 1996. Perjuangan Ideologi Islam di Indonesia. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Iskandar, Arief B. 2010. Tetralogi Dasar Islam. Bogor: Al-Azhar Press.
Nisa.(2009). Memahami Makna Bahagia.(online), (http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/memahami-makna-bahagia.html, diakses 16 Agustus 2010).
Arwani.(2010). Dimensi-dimensi keberagaman. (online), (http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/memahami-makna-bahagia.html, diakses 14 agustus 2010).

September 14, 2010

PROFESIONALISME GURU DALAM MENINGKATKAN MUTU (KUALITAS) BELAJAR MENGAJAR

Hariyono Usman
Mahasiswa FKIP Universitas Haluoleo Sultra,
e-mail: hariyonousman@yahoo.co.id

Abstrak: Masalah terletak pada tenaga pendidik yang menjadikan guru seperti pilihan terakhir yang juga berpengaruh pada proses belajar mengajar di dalam kelas. Sehingga sebagian besar peserta didik di negeri ini tidak mempunyai minat yang tinggi dalam belajar. Tujuan penulisan untuk mengetahui bagaimana kompetensi guru yang profesional dalam meningkatkan kualitas belajar. Metode kajian meliputi: perumusan masalah, studi pustaka dan penarikan masalah. Hasil kajian berupa kompetensi yang harus dimiliki guru dengan penuangan empiris dan efektif yaitu; (1) personaliti guru, (2) memahami karakter siswa (3) menjadi profesional, manusiawi, kemasyarakatan, (4) menumbuhkan motivasi belajar, dan (5) mengembangkan model pembelajaran serta evaluasi pembelajaran. 
Kata kunci: profesionalisme guru, kualitas belajar mengajar, pembelajaran, siswa (peserta didik).

Pendahuluan
Dewasa ini, banyak kita temui orang yang menjadi guru seperti pilihan profesi terakhir. Dengan kata lain, kalau sudah mendesak tidak ada pekerjaan lain atau sebuah status sosial yang lekat  dengan kemarginalan, gaji kecil, tidak sejahtera malah di bawah garis kemiskinan. Bahkan ada guru yang dipilih asal pilih yang penting ada yang mengajar. Sehingga sebagian besar peserta didik di negeri ini tidak mempunyai minat yang tinggi dalam belajar. Sekolah hanya sekedar waktu kosong atau ikut-ikutan, setelah itu pulang. Apalagi harus  mendengarkan materi pelajaran yang monoton. Sangat disyukuri bila guru tidak masuk. anak-anak bersorai gembira karena tidak terbebani hari itu. Sehingga yang menyebabkan semua ini terjadi adalah hilangnya kreatifitas guru untuk menciptakan proses belajar mengajar yang sempurna sehingga mempengaruhi atas peningkatan mutu kualitas belajar mengajar itu sendiri.
Dalam manajemen sumber daya manusia, menjadi profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Dalam hal ini, termasuk guru saat ini harus profesional. Sebab guru adalah pihak ujung tombak dalam proses belajar mengajar. Untuk menghasilkan peserta didik yang berprestasi, tentu berawal dari seorang guru yang memberikan ilmu kepada mereka. Guru saat ini masih sangat sedikit yang antusias untuk menambah ilmunya sendiri. Juga masih rendah minat guru untuk membaca dan membeli buku. Padahal semua itu adalah sumber pengetahuan yang bisa mereka aplikasikan untuk mereka para peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Selain itu, kualifikasi dan latar belakang pendidikan guru tidak sesuai dengan bidang tugas. Di lapangan banyak di antara guru yang mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Sehingga semua itu jelas nantinya akan berdampak buruk pada kualitas (mutu) belajar mengajar di kelas, bahkan berdampak buruk pada potensi dan masa depan siswa. 
Parkey (1998: 3) mengemukakan bahwa guru tidak hanya sekedar sebagai guru di depan kelas, akan tetapi juga sebagai bagian dari organisasi yang turut serta menentukan kemajuan sekolah bahkan di masyarakat. Sehingga bila disimpulkan dari pendapat tadi, maka kita dapat menemukan beberapa faktor yang menyebabkan semakin tingginya tuntutan terhadap keprofesionalan yang harus dimiliki oleh guru. Faktor pertama adalah karena cepatnya perkembangan dan perubahan yang terjadi saat ini terutama perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi. Implikasi bagi guru adalah dimana guru harus memiliki keterampilan-keterampilan yang cukup untuk mampu memilih topik, aktivitas, dan cara kerja dari berbagai kemungkinan yang ada.
Faktor kedua adalah terjadinya perubahan pandangan dalam masyarakat yang memiliki implikasi pada upaya-upaya pengembangan terhadap siswa. Sebagai contoh, banyak guru yang memberikan motivasi seperti mendorong anak-anak bekerja keras di sekolah agar nanti mereka memperoleh suatu pekerjaan yang baik, tidak lagi menarik bagi mereka. Faktor ketiga adalah perkembangan teknologi baru yang mampu menyajikan berbagai informasi yang lebih cepat dan menarik. Perkembangan-perkembangan ini menguji fleksibilitas dan adaptabilitas guru untuk memodifikasi gaya mengajar mereka dalam mengakomodasi sekurang-sekurangnya sebagian dari perkembangan baru tersebut yang memiliki suatu potensi untuk meningkatkan proses pembelajaran.
Berdasarkan hal di atas, maka pentingnya keprofesionalan guru ini sangat berpengaruh terhadap meningkatnya (mutu) kualitas belajar mengajar. Seorang guru harus mengetahui apa yang dilakukannya di dalam proses itu dan menciptakan berbagai pengajaran-pengajaran yang memungkinkan membangkitkan minat siswa untuk belajar. Oleh karena itu, dalam artikel ini penulis akan membahas secara umum tentang kompetensi guru yang profesional dalam proses belajar mengajar. 
Guru Profesional
Kata profesional berasal dari bahasa Inggris yang berarti ahli, pakar, mampu dalam bidang yang digeluti. Menjadi profesional berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Dan seorang ahli tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi, tidak semua ahli dapat menjadi berkualitas karena menjadi berkualitas bukan hanya menjadi persoalan ahli. Tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan personaliti. Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia, mejadi profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan integritas yang yang dipadupadankan dengan skil atau keahliannya. Menjadi profesional adalah tuntutan setiap profesi yang telah familiar di tengah masyarakat.
Dalam kaitannya dengan guru, maka guru juga jelas sebuah profesi yang idealis dan membutuhkan keprofesionalannya dalam menjalani profesi tersebut. Kalau mengacu pada konsep di atas, menjadi profesional adalah meramu kualitas dengan integritas menjadi guru profesional adalah keniscayaan. Namun demikian, profesi guru juga sangat lekat dengan peran psikologis, humanis, bahkan identik dengan citra kemanusiaan. Ibarat sebuah laboratorium, seorang guru seperti ilmuwan yang sedang bereksperimen terhadap nasib anak manusia dan juga suatu bangsa. Guru merupakan tokoh sentral dalam dunia pendidikan yang sangat menentukan ke arah mana sebuah bangsa menuju tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, menjadi guru yang memiliki keahlian dalam mendidik atau mengajar perlu pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang memadai. Sementara itu, menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran. Oleh karena itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran.
Dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, guru profesional harus menjadikan siswanya sebagai fokus utama dalam proses tersebut terkait dengan materi yang diajarkan, disamping guru juga harus menguasai materi yang diajarkannya. Hal ini berkaitan dengan kompetensi profesional yang harus dimiliki guru dalam PP RI No. 19/2005 yang merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru. Pengajar harus lebih memperhatikan minat, bakat, dan kebutuhan pelajar ketimbang dengan target-target untuk menyelesaikan kurikulum yang sebagian mungkin tidak relevan dengan minat, bakat, dan kebutuhan pelajar setempat. Guru profesional juga harus memperhatikan dan memfasilitasi proses-proses aktualisasi potensi, bakat, dan talenta murid-muridnya. Di samping itu masih banyak beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru yang profesional dalam meningkatkan mutu (kualitas) belajar mengajar yang berikut ini akan dibahas satu persatu mengenai hal tersebut.
Personaliti Guru
Peran guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh ataupun mengajar. Reece dan Walker (1997:92) mempertegas pernyataannya bahwa afektif adalah daerah yang paling sulit dan relatif kurang literatur menyangkut sikap. Sikap dapat diajarkan melalui pemberian contoh, misalnya bilamana guru sering terlambat, maka siswa pun akan berbuat sama. Dalam hal ini, siswa menjadikan guru sebagai “lukisan” yang akan ditiru oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung contohnya. Guru (digugu dan ditiru) otomatis menjadi teladan. Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakkan bahwa guru harus memiliki integritas dan personaliti yang baik dan benar. Hal sangat mendasar, karena tugas guru bukan hanya mengajar (transfer knowledge) tetapi juga menanamkan nilai-nilai dasar dari bangun karakter atau akhlak anak. Pembelajaran yang baik tidak dapat dipahami terutama hanya dari sebuah pengetahuan dan keterampilan-keterampilan, sebab sentral dari pembelajaran tersebut mencakup tindakan-tindakan moral dalam konteks yang bersifat khusus. Oleh sebab itu menurut Shulman dan Socket, guru yang baik harus menggunakan penilaian terhadap tindakan situasi kelas secara khusus. Penilaian dan tindakan-tindakan guru  terhadap situasi haris mencakup tindakan-tindakan siswa sebagai sumber-sumber (agen) moral.
Di samping itu, personaliti guru ini juga menyangkut kepribadian seorang guru sebagaimana dalam PP RI No. 19/2005 menetapkan 4 kompetensi yang harus dimiliki guru, salah satunya yaitu kompetensi kepribadian. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Memiliki kepribadian yang stabil dan mantap dimaksudkan guru harus bangga sebagai pendidik dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma. Memiliki kepribadian yang dewasa dimaksudkan agar guru menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai pendidik. Memiliki kepribadian yang arif dimakduskan agar guru menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak. Memiliki kepribadian yang berwibawa agar guru memiliki perilaku yang berpengaruh yang positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani. Memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi teladan, guru bertindak sesuai dengan norma (imtaq, jujur, ikhlas, suka menolong) dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik. Oleh karena itu, jika personaliti guru ini tidak mencerminkan sesuatu yang baik maka akan berpengaruh kepada proses belajar mengajar.     
Profesional, Manusiawi, dan Kemasyarakatan
Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Tugas-tugas profesional yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan niai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak. Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak-anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama manusia kelak dengan sebaik-sebaiknya. Tugas-tugas manusiawi itu transformasi diri, identifikasi diri sendiri, dan pengertian tentang diri sendiri. Usaha membantu ke arah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak didik utnuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secata kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat  dimana ia hidup. Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik. Turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara melalui Undang-Undang dan GBHN. Guru harus turut serta menyukseskan semua program pemerintah dengan jalan turut serta melakukan kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan program itu. Sebagai anggota masyarakat, maka dia harus menjadi contoh yang baik bagi masyarakat sekitarnya. Selain itu juga, tugas kemasyarakatan ini berkaitan dengan kompetensi sosial yang harus dimiliki guru dalam PP RI No. 19/2005 yang merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis, harmonis, dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja, tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator, dan dinamisator pembangunan tempat dimana ia bertempat tinggal. Ketiga tugas guru ini, jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktik-praktik komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhirnya mampu memilih nila-nilai hidup yang semakin kompleks dan harus mampu membuat  anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didikini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, tari-tarian, suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukuran, atau melalui simbol-simbol.        
Memahami Karakter Siswa
Sebelum guru menentukan strategi pembelajaran, metode, dan teknik-teknik evaluasi yang akan dipergunakan dalam belajar mengajar, maka guru terlebih dahulu dituntut keprofesionalannya untuk memahami karakter siswa dengan baik. Hal ini dikarenakan dari hasil sejumlah riset menunjukkan bahwa keberagaman faktor, seperti sikap siswa, kemampuan, dan gaya belajar, pengetahuan serta kemampuannya dan konteks pembelajaran merupakan komponen yang memberikan dampak sangat penting terhadap apa yang sesungguhnya harus siswa-siswa pelajari (Killen, 1998: 5). Pengenalan terhadap siswa dalam interaksi belajar mengajar merupakan faktor yang sangat mendasar dan penting untuk dilakukan oleh setiap guru agar proses pembelajaran yang dilakukan dapat menyentuh kepentingan siswa, minat-minat mereka, kemampuan serta berbagai karakteristik  lain yang terdapat pada siswa, dan pada akhirnya dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Pengenalan terhadap siswa mengandung arti bahwa guru harus dapat memahami dan menghargai keunikan cara belajar siswa dan kebutuhan-kebutuhan perkembangan mereka. 
Dalam meningkatkan mutu kualitas belajar mengajar, maka upaya-upaya guru dalam mengenal dan memahami siswa merupakan kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus, karena kebutuhan siswa tidak bersifat menetap, akan mengalami perubahan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Bahkan seringkali perubahan-perubahan yang terjadi pada siswa berlangsung dengan cepat sehingga guru tidak jarang mengalami kesulitan untuk mengenal dan memahaminya secara cermat. Di samping itu pula, kebutuhan-kebutuhan merka menggambarkan kebutuhan intelegensial, kemampuan maupun ketidakmampuannya (Parkey, 1998: 276). Bagi anak-anak yang memiliki kualitas intelegensi yang baik dan berada dalam tahap atau masa perkembangan tertentu memiliki sejumlah kebutuhan yang berbeda dengan anak-anak yang tergolong memiliki intelegensi yang rendah walaupun sama-sama berada pada tahap perkembangan tertentu. Dalam pandangan DePorter & Hernacki (2001: 117) terdapat tiga karakteristik atau modalitas belajar siswa yang perlu diketahui oleh setiap pendidik dalam proses pembelajaran, yaitu; (1) orang-orang yang visual, yang sering ditandai suka mencoret-coret ketika berbicara di telepon, berbicara dengan tepat, lebih suka melihat peta daripada mendengar penjelasan, (2) orang-orang yang auditorial, yang sering ditandai suka berbicara sendiri, lebih suka mendengar ceramah atau seminar daripada membaca buku, lebih suka berbicara daripada menulis, (3) orang-orang kinestetik, yang sering ditandai berpikir lebih baik ketika bergerak atau berjalan, banyak menggerakkan anggota tubuh ketika berbicara, sulit untuk duduk diam.
Selain itu, Dalam pelaksanaan tugas pembelajaran dan sebagai pembimbing belajar siswa, guru harus mengadakan pendekatan bukan saja melalui pendekatan intruksional, akan tetapi dibarengi dengan pendekatan yang bersifat pribadi (personal approach) dalan setiap proses belajar mengajar berlangsung. Melalui pendekatan pribadi, guru akan secara langsung mengenal dan memahami siswa secara lebih mendalam sehingga dapat memperoleh hasil belajar yang optimal. Abdillah (2008) mengemukakan bahwa sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar, seorang guru diharapkan mampu;
1. Memberikan informasi yang diperlukan dalam proses belajar.
2. Membantu setiap siswa dalam mengatasi setiap masalah probadi yang dihadapinya.
3. Mengevaluasi hasil setiap langkah kegiatan yang telah dilakukannya.
4. Memberikan setiap kesempatan yang memadai agar setiap murid dapat belajar sesuai dengan karakteristik pribadinya.
5. Mengenal dan memahami setiap siswa, baik secara individual maupun secara kelompok.  

Menumbuhkan Motivasi Belajar
Salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya siswa dalam proses belajar yang sekaligus mempengaruhi proses belajar mengajar adalah motivasi belajar. Dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan keseluruhan penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar (Sardiman, 2006: 75). Motivasi belajar merupakan faktor yang bersifat non intelektual. Seorang siswa yang mempunyai intelegensi yang cukup yang tinggi, bisa gagal karena kurang adanya motivasi dalam belajarnya. Pada beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, penurunan motivasi yang terjadi pada diri siswa bisa terjadi karena beberapa hal, yaitu bisa dikarenakan adanya faktor luar dari sekolah yang mengakibatkan kelelahan secara fisik kepada siswanya atau faktor yang dari dalam sekolahan itu sendiri. Bisa dikatakan dari luar sekolah kita juga perlu memperhatikan faktor yang sangat penting, dari dalam diri siswa itu sendiri.
Motivasi mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar, baik bagi guru maupun siswa. Bagi guru mengetahui motivasi belajar dari siswa sangat diperlukan guna memelihara dan meningkatkan semangat belajar siswa. Sedangkan bagi siswa motivasi belajar dapat menumbuhkan semangat belajar sehingga siswa terdorong untuk melakukan kegiatan belajar. Siswa melakukan aktivitas belajar dengan senang hati karena didorong motivasi. Dengan adanya motivasi yang tinggi yang ada dalam diri siswa, akan menumbuhkan keikhlasan dalam belajar dan kesadaran bahwa belajar adalah hal yang sangat penting bagi mereka dan untuk masa depan mereka sendiri di hari kelak. Bahkan motivasi yang tinggi akan menjadikan mereka mempunyai tekad yang kuat untuk belajar dan bersedia menghadapi segala kesulitan-kesulitan yang datang dalam kegiatan belajar para siswa. Oleh karena itu, motivasi siswa untuk belajar sangat penting dalam proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan salah satu aspek dinamis yang sangat penting. Sehingga proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh karena itu dalam kegiatan belajar, peran guru sangat penting di dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa. Menyadari bahwa motivasi terkait erat dengan kebutuhan, maka tugas guru adalah meyakinkan para siswa agar tujuan belajar yang ingin diwujudkan menjadi kebutuhan bagi setiap siswa. Dengan kata lain, memperjelas tujuan yang dapat membuat siswa paham ke arah mana ia ingin dibawa. Guru hendaknya dapat meyakinkan siswa bahwa hasil belajar yang baik adalah suatu kebutuhan guna mencapat sukses yang dicita-citakan. Pemahaman siswa tentang tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Siswa akan terdorong untuk belajar manakala mereka memiliki minat untuk belajar. Sehingga, bilamana guru dapat merubah tujuan-tujuan belajar ini menjadi kebutuhan, maka siswa akan lebih mudah untuk terdorong melakukan aktivitas belajar.
Mengembangkan Model (Strategi) Pembelajaran 
Pembelajaran merupakan suatu tindakan dalam kelas atau dalam proses belajar mengajar. Guru profesional sebagai pengajar yang memberikan ilmu pengetahuan sekaligus pengajar yang mengajarkan nilai-nilai, akhlak moral maupun sosial dan untuk menjalankan peran tersebut seorang guru dituntut untuk memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas yang nantinya akan diajarkan kepada siswa. Seorang guru dalam menyampaikan materi perlu memilih metode mana yang sesuai dengan keadaan kelas atau siswa sehingga siswa merasa tertarik untuk mengikuti pelajaran yang diajarkan. Dengan variasi metode, dapat meningkatkan kegiatan belajar siswa (Slameto, 2003: 96).
   Proses pembelajaran yang berhasil guna memerlukan teknik, metode, dan pendekatan tertentu sesuai dengan karakteristik tujuan, peserta didik, materi,  sumber daya. Sehingga diperlukan strategi yang tepat dan efektif. T. Raka Joni (1992) mengatakan bahwa strategi pembelajaran merupakan suatu seni dan ilmu untuk membawa pembelajaran sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efisien dan efektif. Cara-cara yang dipilih dalam menyusun strategi pembelajaran  meliputi sifat, lingkup, dan urutan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik (Gerlach and Ely). Strategi belajar mengajar tidak hanya terbatas pada prosedur dan kegiatan, melainkan juga termasuk di dalamnya materi pengajaran atau paket pengajarannya (Dick and Carey).
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru mengembangkan model-model pembelajaran yang berorientasi pada intensitas keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses pembelajaran. Pengembangan model pembelajaran yang tepat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat belajar secara aktif dan menyenangkan sehinga siswa dapat meraih hasil belajar dan prestasi yang optimal. Untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif, maka setiap guru harus memiliki pengetahuan yang memadai berkenaan dengan konsep dan cara-cara pengimplementasian model-model tersebut dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif memiliki keterkaitan dengan tingkat pemahaman guru terhadap perkembangan dan kondisi siswa-siswa di kelas. Demikian juga pentingnya pemahaman guru terhadap sarana dan fasiltas sekolah yang tersedia, kondisi kelas, dan beberapa faktor lain yang terkait dengan pembelajaran. Tanpa pemahaman terhadap berbagai kondisi ini, model yang dikembangkan guru cenderung tidak dapat meningkatkan peran serta siswa secara optimal dalam pembelajaran. Dan pada akhirnya tidak dapat memberi sumbangan yang besar terhadap pencapaian hasil belajar siswa. 
Oleh karena itu, Joyce & Weil (1992) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk mernbentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efesien untuk mencapai tujuan pendidikan.
Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai contoh, model penelitian kelompok disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan teori John Dewey. Model ini dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis.
Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu. Misalnya model berfikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berfikir induktif.
Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas. Misalnya model Synectic dirancang untuk memperbaiki kreativitas dalam pelajaran mengarang.
Memiliki bagian-bagian model dalam pelaksanaan, yaitu: (1) urutan langkah-langkah pembelajaran(syntax), (2) adanya prinsip-prinsip reaksi, (3) sistem sosial, dan (4) sistem pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran.
Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut  meliputi: (1) dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur dan (2) dampak pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang.
• Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedomaan model pembelajaran yang dipilihnya.
Di samping itu, hal ini berkaitan dengan kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam PP RI No. 19/2005 merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Dalam proses belajar mengajar, guru merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan untuk kepentingan pembelajaran. Tujuannya guru dapat menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih. Yang pada akhirnya guru harus merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran secara berkesinambungan dengan berbagai metode, menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery level), dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum. Dengan demikian, profesionalisme seorang guru dapat meningkatkan mutu (kualitas) mengajar dan secara tidak langsung “menggiring” atau “membebaskan” potensi kemanusiaan yang ada dalam diri setiap individu (educare).
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa peningkatan mutu (kualitas) belajar mengajar dalam suatu kelas tergantung dari keprofesionalan guru dalam mengelola proses itu. Keprofesionalan guru itu dapat dilihat dari kemampuannya mengajar di atas rata-rata. Dengan kata lain, profesionalisme guru dapat dilihat dari profesinya yang bukan hanya sebagai pengajar juga sebagai motivator, fasilitator, mediator, dinamisator, dsb. Dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, guru profesional harus menjadikan siswanya sebagai fokus utama dalam proses tersebut terkait dengan materi yang diajarkan, disamping guru juga harus menguasai materi yang diajarkannya. Disamping itu, diperlukan keahlian-keahlian lainnya. Guru harus memiliki kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia; meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan niai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak; kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar; memahami karakter siswa dengan baik; kreatif  dalam membangkitkan motivasi belajar siswa yang merupakan salah satu faktor penentu berhasil tidaknya siswa dalam proses belajar mengajar; serta guru dapat memilih metode pembelajaran mana yang sesuai dengan keadaan kelas atau siswa sehingga siswa merasa tertarik untuk mengikuti pelajaran yang diajarkan dan  merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran secara berkesinambungan dengan berbagai metode, menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery level), dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
Saran 
Berdasarkan konsep sebelumnya bahwa untuk meningkatkan mutu (kualitas) dalam proses belajar mengajar diperlukan guru yang profesional. Untuk mewujudkan itu semua, penulis ingin memberikan saran agar pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan mutu profesional guru. Disamping itu, Terri K. Fishbough yang merupakan seorang guru yang mendapat predikat sebagai guru teladan dari Tulare County, California mengatakan bahwa saya terus belajar. Bekerja hanya untuk mengumpulkan gaji adalah hal yang buruk. Oleh karena itu, saran penulis agar para guru tidak pernah berhenti untuk belajar.


Daftar Pustaka
Aprianto. (2009). Kompetensi yang Harus Dimiliki Oleh Guru. (Online), (http://apri76.wordpress.com/2009/02/22/kompetrensi-yang-harus-dimiliki-oleh-guru/, diakses 28 Maret 2010).
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Desi Reminsa. (2008). Menjadi Guru Pofesional. (Online), (http://desireminsa.multyply.com/journal/item/3, diakses  24 januari 2010).
Frank, Sennet. 2003. Guru Teladan Tahun Ini. Terjemahan oleh Vidi Athena Dewi. 2004. Jakarta: Erlangga.
Harefa, Andrias. 2001. Pembelajaran di Era Serba Otonomi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Oemar, Hamalik. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Rohani, ahmad. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.